Pages

Senin, 03 Januari 2011

Semalam aku memimpikannya lagi

Aku berusaha sekuat tenaga untul tidak mengingatnya. Mengingatnya sama saja dengan membuka sebilah luka yang tak kunjung usai. Sebuah luka yang kubuat sendiri, sehingga melukaiku dan dirinya. Ada pepatah mengatakan, time always kills the pain. Berlakukah pepatah itu untukku dan untuknya? Tidak. Luka itu tak kunjung kering. Luka akan sebuah kebodohan, pengkhianatan dan keegoisan. Ya, luka itu akan selalu menganga mengeluarkan nanah. Sakit. Sakit bila disentuh sedikit saja walaupun tidak sengaja.

Seperti itulah mimpiku semalam. Mimpi itu tanpa sengaja menyentuh sedikit luka yang aku rasa. Pedih. Perih. Nyeri. Merasakannya lagi, aku sangat ingin berteriak dan berlari. Tolong, tolong...jangan sentuh bagian itu. Dia telah pergi, bukan? Seharusnya luka itu turut pergi bersamanya yang telah bersama orang lain. Tapi, apa yang terjadi? Luka itu tetap saja membasahi bagian hidupku.

.............................................................................................................................................................

“Ketika itu aku berada di sebuah lapangan olahraga. Aku bersama adik perempuanku pergi ke sana hanya untuk berolahraga, sekedar jogging. Kami berlari di pinggir lapangan hijau, yaitu di bagian yang ada tanahnya. Adikku berlari mendahuluiku, sementara aku hanya berlari kecil mnegejarnya.

Tanpa aku sadari, aku menengok ke sebelah kiri, ke arah lapangan rumput. Sangat tepat. Saat aku menengokkan kepala, kedua mata ini tepat berpapasan dengan matanya. Ya, matanya yang berwarna cokelat. Dia memakai kaos tanpa lengan berwarna hitam dengan celana pendek senada. Rambutnya tetap sama, hitam legam dan ikal, sementara posturnya juga sama dengan yang aku lihat terakhir kali. Dia berlari berlawanan arah denganku. Ketika mata kami bertemu, aku tak bisa beujar sepatah katapun. Aku hanya diam. Dia juga diam. Lalu, hanya berselang 10 detik, aku menurunkan pandanganku ke bawah dan terus berlari. Aku tidak cukup kuat untuk memandang dua bola mata itu. Memandangnya seakan memberikanku gambaran kejadian buruk yang menimpa aku dan dia. Aku tak menoleh ke belakang untuk melihatnya. Mengapa? Karena aku tidak ingin memandangnya dengan air mata yang mulai jatuh membasahi pipiku. Aku terus berlari sambil menyeka air mata ini.

Lalu datang seorang laki-laki kepadaku. Sebutlah namanya C, dia adalah temanku dan juga temannya. C menghampiriku dan berkata bahwa, ‘dia’ sama terkejutnya melihatku barusan. ‘Dia’ tak bisa berkata ketika berpapasan denganku, karena ‘dia’ merasakan hal yang sama, satu hal pahit yang ‘dia’ temukan pada kedua mataku. ‘Dia’ takut. ‘Dia’ takut menatapku lagi lantaran ‘dia’ tak ingin perasaan ‘itu’ datang lagi dan menghancurkan hubungan aku dan dia.

Aku tak tahu harus berkata apa. Selama ini, aku berpikir bahwa dia telah menghapus bersih perasaan ‘itu’. Aku benar-benar kaget mendengar pengakuan tidak langsungnya itu.

Bagian terakhir, aku bersama adikku memutuskan untuk pulang karena hari sudah siang. Aku berjalan sambil merenungi kejadian yang baru aku alami itu. Adikku berjalan di depanku. Lagi-lagi, kejadian barusan terulang. Aku berjalan dan menengok ke sebelah kanan. Aku melihat dia sedang duduk sambil merokok. Pandangannya kosong, menandakan ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Aku melihantnya dan dengan cepat menundukkan pandanganku. Aku tidak ingin dia melihatku untuk kedua kalinya.”

.................................................................................................................................................................

Saat ini, aku hanya bisa menahan diri untuk tidak menghubunginya. Berat memang rasanya kehilangan sosok itu. Tapi, inilah resiko yang pantas aku terima. Dulu aku dan dia pernah berbagi jiwa dan kehidupan, sekarang? Sekarang aku dan dia berlaku ibarat orang asing yang tak pernah memiliki sejarah di masa lalu.

Andai saja dia tahu...







P.S di dalam mimpi itu, aku menangis setelah menatapnya. Ketika aku bangun pun, aku merasakan betapa dalamnya mimpi itu.

0 komentar: